Warung bubur kacang hijo (burjo) siapa yang tak mengenalnya? Hampir
semua mahasiswa di lingkungan kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) dan
Institut Seni Indonesia (ISI) Solo mengenal warung bubur kacang hijau
(burjo). Warung itu sering dipakai para mahasiswa untuk
kongkow-kongkow atau sekadar
ngobrol
untuk melepas kepenatan seusai kuliah. Warung itu juga menjadi tujuan
utama para mahasiswa indekos untuk mencari makan di malam hari karena
harganya relatif miring.
Di warung tersebut enggak menyediakan burjo doang,
ada juga makanan pendampingnya seperti mi rebus, mi goreng, nasi telur
dadar, nasi goreng, nasi omlet dan gorengan. Harganya bervariasi
Rp2.500-Rp5.500/porsi. Bisnis burjo ini belakangan tumbuh pesat di
lingkungan sekitar kampus. Terdapat sekitar 10 warung burjo yang
menyebar di sekitar kampus UNS dan ISI. Warung-warung itu meliputi Burjo
Kuningan, Burjo Ngeureuyeh, Burjo Raja Rasa, Burjo Pada Suka, Burjo
Paradise, Burjo Alim Rugi, Burjo Pasundan, Burjo Ambucuy, Burjo UGD
(Usaha Golek Duit) dan Burjo Rincik Manis.
Sebagian besar
pengusaha burjo itu merupakan pendatang dari Kabupaten Kuningan, Jabar.
Dari sekian pengusaha burjo itu, hanya satu orang yang berasal dari
wilayah Jateng, yakni dari Cilacap, perbatasan dengan Jabar. Pemilik
Burjo UGD, Suwandi, merupakan pengusaha satu-satunya yang asli Jawa,
meskipun dialek bahasanya sudah ngikut Sunda.
Bisnis
burjo di lingkungan kampus sebenarnya sudah lama, sejak 1997 atau
sekitar 15 tahun lalu. Hj Rusti’ah, 60, warga Desa Mekar Mukti,
Kecamatan Sindang Agung, Kuningan, memulai usaha burjo di belakang
kampus, tepatnya di Ngoresan, Jebres, Solo. Istri Abdul Rahman, 71, ini
menggeluti usahanya dengan bermodal uang Rp20 juta, hasil penjualan
tanah di Bekasi.
“Sebelum di Solo, saya mah berjualan
burjo juga di Bekali. Waktu itu kan, suami sering kulakan ketela di
Solo. Nah, ketela yang dibawa ke Bekasi sering busuk. Akhirnya, kami
pindah ke Solo ini,” ujar Rusti’ah saat dijumpai Espos, Kamis (5/9).
Waktu
pertama jualan burjo, Rusti’ah mengontrak tanah Suparwiro, warga
Jebres, senilai Rp500.000/tahun. Harga kontrakan tanah yang dia tempati
kini mencapai Rp12 juta/tahun. Jalan di belakang kampus UNS saat itu
belum beraspal. Permukiman penduduk di sekitarnya pun masih jarang,
apalagi tempat usaha di pinggir jalan, tak seramai sekarang.
“Saat itu saya jual burjo hanya Rp100/mangkuk. Saya sampai nangis-nangis karena tidak laku. Masak dalam tiga bulan hanya dapat Rp5.000. Padahal warung ini buka 24 jam. Orang ngelihat
ya sekadar lihat saja. Mereka enggak ada yang beli. Tapi lama-lama
bertambah jadi laku Rp10.000/bulan, kemudian naik lagi jadi
Rp17.000/bulan,” kisahnya.
Penjualan kotor Burjo Kuningan yang dia
kelola kini Rp1,5 juta-Rp1,6 juta per hari. Hanya dengan berjualan
burjo, Rusti’ah bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Penghasilan
paling banyak diperolehnya pada malam hari, bisa mencapai Rp900.000.
Kalau siang hari enggak begitu banyak, paling Rp500.000-Rp600.000.
Kendati
banyak pesaing bisnis burjo, omzet penjualannya enggak turun drastis,
hanya anjlok 22%. Biasanya dapat omzet Rp900.000/malam, turun jadi
Rp700.000/malam. Harga jual masakan di warung Rusti’ah sedikit lebih
mahal daripada warung burjo lainnya. Satu mangkuk burjo harganya
Rp3.500, bubur ayam Rp4.000, mi rebus plus telur Rp5.000, mi goreng plus
telur Rp5.000 dan mi tanpa telur Rp3.500/porsi.
“Pemasangan harga
jual burjo dan masakan lain menjadi ajang kompetisi sesama pengusaha
warung burjo. Biasanya mahasiswa ya pilih-pilih sih, mana burjo yang
murah itu yang didatangi. Apalagi tempatnya enak buat nongkrong sambil ngobrol, pasti banyak yang datang,” ujar mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Alfian, saat dijumpai Espos, Kamis lalu.
Semua
warung burjo memiliki tenaga khusus untuk melayani pelanggan. Tenaga
itu biasanya diambilkan dari orang lokal, ada juga yang didatangkan dari
Kuningan. Pengusaha Burjo Ngeureuyeh di pinggir Jl Ir Sutami,
Pucangsawit, Jebres, mendatangkan tenaga dari Kuningan sebanyak delapan
orang. Rata-rata mereka lulusan SMP dan mendapatkan upah
Rp400.000-Rp700.000/bulan.