Angklung
Kesenian, Utama 16.33
Bagi yang pernah menyaksikan konser musik Yanni tentu tahu betapa megah, agung dan fenomenalnya “Santorini”. Namun, bagaimana bila nomor klasik “Santorini” dibawakan dengan instrumen tradisional Sunda bernama Angklung? Ya, bahkan nomor-nomor klasik seperti “Li Biamo Ne Lieti Calici from La Traviatta” karya Giuseppe Verdi, “Blue Danube Waltz” (Johan Strauss), “Air for G String”(Johan Sebastian Bach), dsb, dapat dimainkan dengan indahnya menggunakan alat musik Angklung, disamping tentu saja karya-karya musik asli Indonesia seperti “Jali-jali”, “Bengawan Solo” atau “Es Lilin”.
Untuk itu kita wajib berterima kasih kepada almarhum Daeng Soetigna, karena berkat kerja keras dan usahanya maka alat musik angklung yang tadinya hanya sebagai alat musik tradisional yang hanya memiliki beberapa tangga nada yang dibunyikan secara monoton, dibuat sedemikian rupa menjadi set angklung dengan nada-nada diatonis-kromatis sehingga mampu memainkan musik “barat”.

Ada lagi tokoh penting dalam perkembangan angklung modern di Jawa Barat yaitu Udjo Ngalagena. Udjo mengembangkan angklung tradisional menjadi nada da-mi-na-ti-la-da, belajar dari tokoh musik Machyar. Ada juga tokoh yang berupaya mengembangkan alat musik angklung yaitu J.C. Deagan, seorang Belanda yang merupakan guru musik Daeng. Namun Daenglah yang berhasil mengembangkan alat musik angklung sehingga mencapai standar nada diatonik-kromatik (do-re-mi-fa-sol-la-si-do) yang lengkapnya terdiri dari 12 nada. Angklung ini yang kemudian dijuluki Angklung Padaeng yang dikenal sebagai angklung modern.
Ketertarikan Daeng Soetigna, lahir di Garut, 13 Mei 1908, pada alat musik angklung berawal saat melihat dua orang pengamen bermain angklung. Sebagai guru kesenian dan mengajar kepanduan (sekarang Pramuka), saat itu Daeng berpikir bagaimana membuat angklung yang lain, yang bisa dipakai sebagai alat pendidikan seni musik. Kemudian dia membeli angklung dari pengamen tersebut dan berpikir keras untuk membuat angklung. Dia lalu mendatangi pak Djadja, seorang tua yang mahir membuat angklung. Karena saat itu angklung umumnya hanya dikenal sebagai “alat musik pengamen”, pak Djadja sempat bertanya apakah dia mau alih profesi sebagai pengamen?
Setelah melalui berbagai eksperimen, Daeng berhasil mengembangkan angklung menjadi memiliki tangga nada do-re-mi-fa-sol-la-si-do, maka diapun mengajarkan angklung ciptaannya ke anak didiknya di kepanduan. Saat itu ia juga menuai protes karena dengan mengajarkan angklung maka ia dianggap mengajar anak didiknya jadi pengamen… Tetapi sejarah berkata lain, hasil perjuangannya dalam mengembangkan angklung berhasil membuat Presiden Soekarno terkagum-kagum.

Kini kita boleh berbangga dengan angklung yang asli tanah Sunda namun sekarang sudah mendunia, tetapi juga jangan lengah karena Malaysia konon mulai meng-klaim angklung sebagai miliknya dengan sebutan bamboo Malay. Hal ini tentu membuat kita sungguh geram dan kesal, namun pertanyaannya adalah sudah sejauh manakah usahakan kita dalam melestarikan alat musik angklung?. Udjo dan Daeng telah mengembangkan angklung dengan konsep 5M (murah, mudah, massal, mendidik, dan menyenangkan) sehingga angklung dapat diterima oleh berbagai kalangan usia, tingkat pendidikan dan strata sosial. Di lain pihak, Roswita Amelinda, Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Pak Daeng, mengakui betapa sulitnya untuk mendapatkan sponsor untuk mendukung acara konser angklung tersebut. Sedihnya, para calon sponsor itu (bahkan diantaranya host salah satu televisi swasta nasional) banyak yang bertanya : “Siapa Daeng Soetigna?”\
Sumber : Kasmaji 81 Solo
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :