Toleransi Agama Keguyuban di Lembah Ciamis
Utama 11.40
Keguyuban antarumat beragama seperti napas yang tak pernah berhenti
di Dusun Susuru, Desa Kertajaya, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis,
Jawa Barat. Seratusan tahun lalu, perbedaan agama dan keyakinan terus
menjadi energi yang menyatukan.
Berada di lembah antara Gunung
Sawal dan Gunung Ciremai, Dusun Susuru berjarak sekitar 50 kilometer
dari pusat kota Kabupaten Ciamis. Hanya ada satu jalan beraspal kasar
sepanjang 5 kilometer dan lebar 4 meter yang menghubungkannya dengan
pusat Desa Kertajaya.
Berbeda dengan dusun terpencil lainnya di
Ciamis, masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani itu hidup rukun
dalam tiga agama dan keyakinan. Menurut Sekretaris Desa Kertajaya Jojo
Jarkasih, awal Agustus lalu, saat ini hidup berdampingan 1.914
pemeluk agama Islam, 131 orang beragama Katolik, dan 56 penghayat
Ajaran Karuhun Urang (Akur). Dengan luas wilayah sekitar 150 hektar,
letak 3 masjid, 1 gereja, dan tempat sarasehan penghayat pun
berdekatan. Demikian juga rumah tinggal pemeluknya.
Jejak
toleransi bisa dilihat dari keberadaan rumah ibadat. Di dekat pintu
masuk dusun terdapat kompleks Pesantren Al Ikhlas berikut masjidnya.
Pemimpin Pondok Pesantren Haji Kurdi Sopandi (50) tak pernah melupakan
peran warga Susuru beragama Katolik dan penghayat Akur yang membantu
dalam pembangunan masjid pesantren 10 tahun lalu.
Kurdi
mengatakan, mereka secara sukarela menyumbang material kayu dan
bersama- sama ikut membangun. Hal itu seperti mewarisi kerelaan yang
sama saat Masjid Jami Susuru didirikan pada 1970 dan direnovasi 21
tahun kemudian.
”Panitia Badan Amil Zakat- nya adalah Omo dan
Ruswa. Keduanya warga Susuru beragama Katolik,” ujar Kurdi. Bahkan,
rumahnya pun dibangun bersama oleh warga Katolik dan penghayat yang
tinggal di sebelah rumahnya.
Gereja Katolik Stasi Santo Simon di
seberang pondok pesantren juga lahir berkat kerukunan masyarakat
Susuru. Kepala Stasi Susuru Paulus Anang Suryana (45) mengatakan,
banyak pemeluk agama Islam dan penghayat membantu renovasi gereja tahun
2007. Mereka melakukan dengan senang hati tanpa mengharapkan bayaran
sepeser pun. Material batu, kayu, tenaga kerja, dan makanan pun
disumbangkan.
Toleransi tak hanya di situ. Saat perayaan agama
pun warga ikut saling menghadiri. Misalnya, saat perayaan Natal,
pemeluk agama Islam dan penghayat tak pernah absen. Selain ikut
memberikan renungan, secara sukarela mereka juga ikut berjaga-jaga di
acara perayaannya. Warga juga ikut membantu menyumbang konsumsi.
”Kami
juga selalu dilibatkan saat umat Muslim merayakan Idul Fitri, Isra
Miraj, atau Idul Adha. Tak hanya mengucapkan selamat, tapi saling
mendoakan sesuai agama dan keyakinan masing-masing,” ujarnya.
Budaya Sunda
Kepala
Program Studi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Siliwangi Tasikmalaya Akhmad Satori, yang pernah meneliti
keberagaman di Susuru, mengatakan, keberagaman itu sudah muncul saat
Ki Sumantra, warga Susuru, pulang kampung setelah belajar ilmu rohani.
Ki Sumantra belajar dari Pangeran Madrais, pemimpin Gedung Paseban
Tri Panca Tunggal, di Kuningan, Jawa Barat, awal abad ke-20.
Ajaran
Pangeran Madrais yang dikenal dengan Agama Djawa Sunda (ADS) lantas
diajarkan kepada masyarakat Susuru. Sebelumnya, seluruh masyarakat
Susuru memeluk agama Islam.
Tahun 1960-an, saat pemerintah
melarang ADS, Pangeran Tejabuana, pemimpin ADS ketika itu, membebaskan
pengikutnya menganut agama yang diakui saat itu. Pangeran Tejabuana
memilih Katolik, diikuti banyak pengikutnya di Susuru. Namun, tak
sedikit yang memilih masuk Islam.
”Masyarakat Dusun Susuru
mengedepankan hidup berdampingan tanpa melihat perbedaan agama dan
kepercayaan. Masyarakat saling menghormati pilihan yang diambil warga
lainnya,” katanya.
Dalam perkembangannya, masyarakat yang tak
puas dengan agama yang dipeluknya memilih menjadi penghayat yang
menamakan diri Ajaran Karuhun Urang. Mereka percaya ada Tuhan atau Gusti nu Maha Suci. Ada juga yang memilih keyakinan dan agama baru lewat perkawinan. Semuanya terjadi tanpa paksaan atau konflik.
”Kentalnya
penerapan budaya Sunda berperan menciptakan masyarakat penuh
toleransi,” ujar Akhmad. Pemeo Sunda yang menyebutkan silih asah, silih asih, silih asuh, yang
artinya saling mengasihi, mempertajam diri, dan melindungi,
benar-benar nyata di Susuru. Buktinya, degung—kesenian khas Sunda—
mengiringi misa umat Katolik Susuru.
Bukan halangan
Margaretha
Mimi Sumiyati (45), warga Susuru, mengatakan, orangtuanya membebaskan
anak-anaknya memilih agama dan kepercayaan. Ia memilih Katolik meski
orangtua dan ketiga kakaknya penghayat. Mereka tinggal di rumah yang
sama tanpa ada konflik agama. Pesan tak ada agama atau kepercayaan yang
mengajarkan keburukan menjadi pegangan.
”Perbedaan ini menjadi anugerah,” katanya. Dari dusun ini, tercatat enam warga menjadi biarawan dan biarawati.
Hal
yang sama diakui Dayat Hidayat (40), penghayat Akur. ”Perbedaan
keyakinan seperti permata yang berharga untuk saling menjaga dan
memperhatikan,” ujarnya.
Sanajan sewang-sewang tapi teu ewang-ewang. Meski berbeda agama, warga Susuru tak terpisahkan.
Sumber : kompas.com
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :
Dikirim oleh Unknown
pada 11.40.
dan Dikategorikan pada
Utama
.
Kamu dapat meninggalkan komentar atau pesan terkait berita / artikel diatas