Kripik Gadung Makanan Olahan Tradisional
Kuliner, Utama 13.59
Kripik gadung, oleh Pemkab Kuningan dinyatakan sebagai makanan khas daerah. Hal itu diperlihatkan, baik melalui leaflet, booklet atau pembicaraan dari mulut ke mulut. Kripik gadung rasanya gurih membuat kita terjebak untuk selalu mengunyahnya dalam jumlah tak terbatas.
Sebagai makanan khas tentunya pihak Pemkab seyogyanya melakukan penelitian terhadap gadung, pasalnya dalam kegurihannya menyimpan selaksa racun yang dapat memabukan orang. Tidak sedikit orang yang mabuk gadung, gara-gara ia tidak bias menghentikan melahap gadung. Padahal kripik gadung mempunyai pasar potensial, selama ini yang menyerap penganan itu adalah Jakarta, Bandung, serta Semarang atau Jawa Tengah. Setiap tahunnya, para petani gadung di Kel. Citangtu dapat menjual kripik gadung siap saji sekira 100 - 150 ton/sekali musim panen. Harganya pun menjanjikan sekira Rp. 6.000/Kg, tidak kalah dengan harga padi, singkong, ubi jalar maupun buah-buahan. Potensi ini elum sepenuhnya mendapat perhatian Pemkab, pasalnya pengolahan masih dilakukan secara sederhana, mambutuhkan proses secara baik dan benar guna menghilangkan racunnya.
Jika terus dibiarkan maka makanan khas ini lama-lama akan memudar karena konsumen takut keracunan. Gadung, merupakan tanaman merambat sejenis umbi-umbian, tak ubahnya ubi jalar. Tanaman gadung tangkainya berduri dan merambat pada tonggak atau pohon, sedangkan buahnya berwarna putih seperti bengkuang dan daunnya berbulu halus seperti labuh.
Tanaman gadung tidak mengenal musim tanam, pasalnya bisa kapan saja dan dimana saja. Ada yang menanam di kebun, huma, maupun sawah, namun tidak pernah dijadikan tanaman pokok, hanya sekedar tumpang sari. Selain cara menanamnya mudah, juga memberikan penghasilan tambahan bagi para petani.
Seperti diutarakan oleh Ruswa (45) warga Kel. Citangtu, Kec. Kuningan, hampir seluruh masyarakat menanam gadung dengan cara tumpang sari. Tanaman pokoknya adalah palawija, karena tanah yang dimiliki oleh warga setempat bukan areal pesawahan teknis namun huma. Misalnya, satu lahan huma bisa ditanami beberapa jenis tanaman seperti singkong, ubi jalar, padi ketan, kacang-kacangan serta gadung. Selama ini, warga setempat tetap setia terhadap budidaya gadung, tutur Ruswa, pasalnya ada anggapan tanaman tersebut merupakan warisan nenek moyang yang turut mengusir penjajah. Sewaktu jaman Belanda, Kel. Citangtu merupakan basis persembunyian Tentara Indonesia (TI) yang ada di Kab. Kuningan, saat itu mereka selalu diburu Tentara Belanda.
Setiap kali diburu, mereka selalu menyamar jadi petani dengan cara mencangkul atau membabat rumput. Saat Tentara Belanda datang, disambut oleh sikap seolah-olah gembira, disuguhinya minuman serta penganan. Nah, penganan yang disuguhkan kepada Tentara Belanda yakni gadung rebus.
Bagi orang awam, gadung yang direbus saat dimakan sangat gurih dan lejat sehingga kerap orang lupa diri dan melahapnya tanpa perhitungan. Dampaknya pun luar biasa, orang tersebut akan didera pusing kepala tujuh keliling atau biasa disebut mabuk gadung.
Tentara Belanda tidak mengetahui dampak makanan itu sehingga melahap sekenyangnya. Setelah melahap dalam jumlah banyak, tidak menunggu berjam-jam mereka pun mabuk. Saat mabuk itulah TI menghabisi mereka. Lebih lanjut Ruswa memaparkan, banyak sarjana di daerahnya yang lahir dari kripik gadung, maksudnya mereka disekolahkan oleh orang tuanya yang dibiayai hasil penjualan kripik gadung. Meski harga penjualan cukup tinggi, namun proses pembuatannya memerlukan waktu lama sekira 6 hari.
“Setelah diiris kecil-kecil, tebalnya sekira 3 mili, gadung diberi abu gosok dan didiamkan selama 1 malam. Setelah itu, dijemur selama 2 hari, kemudian direndam oleh air selama 2 hari, kembali dijemur 1 hari. Pengolahan terakhir direbus, ditiriskan dan kripik gadung siap dijual atau digoreng. ” tutur Ruswa.
Tujuan dari pengolahan itu, kata Ruswa, untuk menghilangkan racun dari gadung. Setelah diproses agak lama, racun memabukan yang kerap menghantui konsumen akan sirna. Kami menjamin tidak akan mabuk gadung, sebab pernah dirasakan oleh kami mabuk gadung tidak enak. Pusingnya saja tidak bisa hilang satu atau tiga hari, namun tidak pernah ada yang meninggal gara-gara mabuk gadung.
Sebagai makanan khas tentunya pihak Pemkab seyogyanya melakukan penelitian terhadap gadung, pasalnya dalam kegurihannya menyimpan selaksa racun yang dapat memabukan orang. Tidak sedikit orang yang mabuk gadung, gara-gara ia tidak bias menghentikan melahap gadung. Padahal kripik gadung mempunyai pasar potensial, selama ini yang menyerap penganan itu adalah Jakarta, Bandung, serta Semarang atau Jawa Tengah. Setiap tahunnya, para petani gadung di Kel. Citangtu dapat menjual kripik gadung siap saji sekira 100 - 150 ton/sekali musim panen. Harganya pun menjanjikan sekira Rp. 6.000/Kg, tidak kalah dengan harga padi, singkong, ubi jalar maupun buah-buahan. Potensi ini elum sepenuhnya mendapat perhatian Pemkab, pasalnya pengolahan masih dilakukan secara sederhana, mambutuhkan proses secara baik dan benar guna menghilangkan racunnya.
Jika terus dibiarkan maka makanan khas ini lama-lama akan memudar karena konsumen takut keracunan. Gadung, merupakan tanaman merambat sejenis umbi-umbian, tak ubahnya ubi jalar. Tanaman gadung tangkainya berduri dan merambat pada tonggak atau pohon, sedangkan buahnya berwarna putih seperti bengkuang dan daunnya berbulu halus seperti labuh.
Tanaman gadung tidak mengenal musim tanam, pasalnya bisa kapan saja dan dimana saja. Ada yang menanam di kebun, huma, maupun sawah, namun tidak pernah dijadikan tanaman pokok, hanya sekedar tumpang sari. Selain cara menanamnya mudah, juga memberikan penghasilan tambahan bagi para petani.
Seperti diutarakan oleh Ruswa (45) warga Kel. Citangtu, Kec. Kuningan, hampir seluruh masyarakat menanam gadung dengan cara tumpang sari. Tanaman pokoknya adalah palawija, karena tanah yang dimiliki oleh warga setempat bukan areal pesawahan teknis namun huma. Misalnya, satu lahan huma bisa ditanami beberapa jenis tanaman seperti singkong, ubi jalar, padi ketan, kacang-kacangan serta gadung. Selama ini, warga setempat tetap setia terhadap budidaya gadung, tutur Ruswa, pasalnya ada anggapan tanaman tersebut merupakan warisan nenek moyang yang turut mengusir penjajah. Sewaktu jaman Belanda, Kel. Citangtu merupakan basis persembunyian Tentara Indonesia (TI) yang ada di Kab. Kuningan, saat itu mereka selalu diburu Tentara Belanda.
Setiap kali diburu, mereka selalu menyamar jadi petani dengan cara mencangkul atau membabat rumput. Saat Tentara Belanda datang, disambut oleh sikap seolah-olah gembira, disuguhinya minuman serta penganan. Nah, penganan yang disuguhkan kepada Tentara Belanda yakni gadung rebus.
Bagi orang awam, gadung yang direbus saat dimakan sangat gurih dan lejat sehingga kerap orang lupa diri dan melahapnya tanpa perhitungan. Dampaknya pun luar biasa, orang tersebut akan didera pusing kepala tujuh keliling atau biasa disebut mabuk gadung.
Tentara Belanda tidak mengetahui dampak makanan itu sehingga melahap sekenyangnya. Setelah melahap dalam jumlah banyak, tidak menunggu berjam-jam mereka pun mabuk. Saat mabuk itulah TI menghabisi mereka. Lebih lanjut Ruswa memaparkan, banyak sarjana di daerahnya yang lahir dari kripik gadung, maksudnya mereka disekolahkan oleh orang tuanya yang dibiayai hasil penjualan kripik gadung. Meski harga penjualan cukup tinggi, namun proses pembuatannya memerlukan waktu lama sekira 6 hari.
“Setelah diiris kecil-kecil, tebalnya sekira 3 mili, gadung diberi abu gosok dan didiamkan selama 1 malam. Setelah itu, dijemur selama 2 hari, kemudian direndam oleh air selama 2 hari, kembali dijemur 1 hari. Pengolahan terakhir direbus, ditiriskan dan kripik gadung siap dijual atau digoreng. ” tutur Ruswa.
Tujuan dari pengolahan itu, kata Ruswa, untuk menghilangkan racun dari gadung. Setelah diproses agak lama, racun memabukan yang kerap menghantui konsumen akan sirna. Kami menjamin tidak akan mabuk gadung, sebab pernah dirasakan oleh kami mabuk gadung tidak enak. Pusingnya saja tidak bisa hilang satu atau tiga hari, namun tidak pernah ada yang meninggal gara-gara mabuk gadung.
Sumber : Warta Desa
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :